Almaida Jody – Helenina itu Baperan (https://www.facebook.com/jody.almeyda)
Helenina itu Baperan
Ada yang bilang, bahwa aku seorang indigo. Tapi, menurutku tidak. Aku tidak punya kecerdasan seperti anak – anak indigo yang terlihat di berita – berita di TV. Hanya saja, aku memang sejak kecil sudah tidak asing dengan makhluk “tetangga”. Ya, aku biasa menyebut mereka tetangga. Toh mereka memang disekitar kita. Tapi bukan berarti aku bisa melihat mereka terus menerus. Tidak. Tidak seperti itu.
Berdasarkan pengalamanku, tetangga hanya bisa nampak apabila mereka menampakan diri, ataupun saat kita benar – benar berkonsentrasi untuk melihatnya. Hal ini juga dibenarkan oleh seorang sahabtku yang sekaligus menjadi guru spiritualku dalam urusan agama. Sebenarnya cukup banyak pengalamanku dalam melihat kelakuan maupun aktifitas tetangga. Salah satunya adalah saat aku masih berumur lima tahun, misalnya.
Saat itu ayahku sedang berada diluar kota. Kala itu, rumah tempat tinggalku memilki kamar mandi / wc yang berada diluar rumah. Saat itu, jam menunjukan pukul 02.10. Ya, aku ingat betul jam berapa saat ibuku membangunkanku karena ingin ditemani untuk ke kamar mandi. Ibuku berkata, bahwa dia takut kekamar mandi sendirian dini hari itu. Dan aku memaklumi, karena saat itu hanya aku dan ibuku yang berada dirumah. Aku belum mempunyai adik seperti sekarang.
Singkat cerita, ibuku memintaku berdiri dipintu belakang rumah. Menunggunya disitu, sementara dia ke kamar mandi yang berjarak kira – kira sepuluh meter dari pintu belakang itu. Dengan orang tuaku yang galak dan temperamental, tentunya aku patuh dan selalu meminta izin bila ingin melakukan sesuatu.
Udara malam itu serasa sejuk sekali. aku menarik nafas panjang menikmati udara yang sejuk itu. Sesekali, aku memandang langit yang indah penuh dengan bintang. Namun, pandanganku kemudian tertuju pada lapangan voley warga yang berada tidak terlalu jauh dari halaman belakang rumahku. Ada yang menyita perhatianku dari bawah kursi wasit. Kulihat seorang anak perempuan sedang berlari – lari mengelilingi kursi itu. Tidak lama kemudian, dia naik dan duduk diatas kursi wasit. Sejenak dia menatap lurus kedepan dan diam. Lalu seketika dia menoleh kearahku dengan cepat dan menatap wajahku. Sepertinya dia sadar bahwa aku meperhatikannya.
Tidak lama kami bertatapan, kemudian dia melambaikan tanganya kepadaku. Berkali – kali dia melambaikan tangannya. Sepertinya dia mengajaku untuk ikut bermain dilapangan itu bersamanya. Aku sama sekali tidak mengenalnya. Dia bukan Arin, satu – satunya anak yang seumuran denganku kala itu dan tinggal di rumah depan. Siapa dia, pikirku.
Namun, sejak kecil memang aku bukanlah anak yang canggung dengan teman baru. Jadi, tidak masalah untuk berkenalan terlebih dahulu. Toh di TK, aku sudah sering berjumpa dengan teman baru dan menanyakan dulu siapa namanya. Dia terus melambaikan tangannya dengan halus. Lalu, kuputuskan untuk meminta izin pada ibuku nanti, bila dia telah selesai dari kamar mandi.
Tidak lama kemudian, ibuku keluar dari kamar mandi dan berjalan kearahku. Akupun lekas berlari menghampirinya dengan riang. “Mak, odi mau main ya mak. Sama anak itu tuh. Dia ngajak odi main,” kataku dengan polosnya kala itu sembari menunjuk kearah kursi wasit tempat anak perempuan itu duduk.
Dengan seketika, ibuku menarik tanganku dengan kencang dan menyeretku masuk. Sedih rasanya tidak boleh bermain, padahal ada yang mengajaku bermain. Itulah yang kupikirkan kala itu. Air mata mengalir dari mataku. Memang dari bayi aku tidak pernah bersuara atau berteriak – teriak jika menangis, kata orang tua dan kerabatku. Saat itu, ibuku tidak berkata apa – apa selain menyuruhku tidur. Namun, yang ganjil adalah entah mengapa ibuku meeluk tubuhku dengan erat dan sedikit gemetar. Mungkin ibuku kedinginan. Itulah yang terlintas dipikiranku saat itu.
Namun seiring berjalannya waktu, dan aku semakin dewasa. Aku sadar bahwa anak perempuan diwaktu itu, bukanlah manusia. Melainkan tetangga. Saat aku kelas 1 SMP, baru kuketahui dari opung. Bahwa mungkin yang kulihat dulu itu, adalah seorang anak perempuan yang tinggal disekitar situ semasa ibuku kecil. Dia meninggal tertimpa kursi wasit yang roboh, ketika sekumpulan anak – anak bermain – main dikursi wasit itu. Konon, kursi wasit yang dulu telah berkarat dan rapuh. Sehingga roboh ketika beberapa anak bermain – main dengan memanjat dan mendudukinya.
Itulah salah satu dari sekian banyak pengalamanku ketika aku masih kecil. Ini salah satu pengalamanku dengan tetangga yang merupakan perwujudan dari khodam seorang yang telah mati.
Selanjutnya, yang akan kuceritakan adalah salah satu pengalamanku saat aku sudah berusia dewasa. Saat itu, aku bekerja disalah satu perusahaan farmasi di kota Bekasi. Saat itu hari jumat, dimana besoknya aku libur karena weekend. Ya, sabtu dan minggu adalah hari libur untuku saat itu.
Aku sedang begadang dengan membaca komik secara online. Kebetulan aku memang seorang Otaku. Aku mengingatnya dengan jelas saat itu jam menunjukan pukul 01.15 dilayar laptopku. Ditengah keasikanku membaca komik, kudengar dari arah depan kamar kontrakanku suara buah macang yang jatuh. Entah kalian semua menyebutnya apa. Kueni, bacang, atau apalah. Aku menyebutnya macang. Buah yang terkenal akan jatuh bila sudah matang.
Kebetulan sekali, pikirku. Tidak ada yang bangun pada jam itu, ataupun malas untuk mengambilnya dan memilih pagi hari. Ibu pemilik kontrakanpun kurasa tidak akan keluar mengambilnya malam – malam begini, kataku dalam hati.
Akupun bergegas keluar dari kamar kontrakanku. Kulihat dari beranda, ada tiga buah macang yang jatuh ketanah. Lumayanlah bila kuambil satu, pikirku. Akupun mengendap – endap turun kebawah, supaya penghuni kamar yang lain tidak mendengar langkahku. Kebetulan memang kamarku berada dilantai satu bangunan kontrakan. Ada yang bilang dilantai dua. Namun aku yang terbiasa menyebut lantai paling bawah sebagai ground, tentunya aku menyebut lantai tempatku tinggal sebagai lantai satu.
Sesampainya aku dihalaman, aku segera menuju bawah pohon tempat buah – buah itu jatuh. Bergegas aku menunduk untuk mengambil salah satu dari tiga buah yang jatuh tersebut. Baru saja aku ingin menunduk untuk mengambil buah itu, perhatianku tersita dengan sesosok putih yang berada sekitar lima belas meter dariku. Akupun tersentak dan mundur. Walaupun sudah terbiasa, tetap saja menurutku siapapun akan tersentak bila tetangga dengan wujud Mr. P menampakan diri.
Sejenak aku hanya menatapnya dan kembali menguasai diri. Yah, aku tahu. Dia bukan khodam orang yang sudah mati. Tapi golongan jin yang mencoba menakut – nakuti. Berarti, aku tidak perlu takut, ujarku dalam hati.
“Assalamualaikum,” sapaku padanya. “Masa bodo kalau kamu tinggal disini ya, ini buah milik umum, dan aku pengen ngerujak nanti siang,” ujarku padanya dengan dialeg sumatraku, sembari melanjutkan keinginanku untuk mengambil buah macang tadi. Namun, tampaknya dia tidak menyerah sampai disitu.
Diliuk – liukannya tubuhnya kekanan dan kekiri bagaikan sebuah benda yang elastic seraya terbang vertical keatas dengan perlahan. Cukup bergidik juga tubuhku melihat gerakan itu dan caranya yang terbang perlahan keatas. Namun, jangan pernah mengusik raksasa yang sedang tidur. Kugigit tanganku layaknya Eren Jaeger yang hendak beruba menjadi titan. Kugigit dengan keras, agar aku ingat bahwa pukulan – pukulan yang diberikan orangtuaku semenjak aku masih sangat kanak – kanak merupakan hal terseram yang pernah ada. Dan itu berhasil. Aku langsung menguasai diriku lagi, dan kembali sadar bahwa yang kuhadapi adalah jin. Aku lebih kuat darinya. Aku adalah makhluk kasar, dia yang makhluk halus. Mana bisa aku kalah. Itulah yang kuyakini selama ini. Kusebut nama Allah dalam hatiku dengan lantang. Tentu saja dalam hati, agar tidak ada yang terbangun. Kuambil sebuah batu seukuran genggamanku alih – alih mengambil buah dibawah. Lalu dengan cepat kulemparkan kearahnya yang sedang perlahan terbang vertical dengan meliuk – liukan badannya.
“Bugh !”, suara batu tadi menghantam tubuhnya. Seketika dia meandangku dengan tatapan yang mengerikan. Akupun membalas dengan memelototinya dan menggeram layaknya hewan buas. Memang aku selalu begitu, bila sedang mengamuk. “Turun, kalau kau jantan !” bentaku padanya, namun tetap dengan volume suara yang terjaga. Akupun bergegas melesat kearahnya untuk mengajaknya adu fisik. Aku cukup percaya diri dengan kemampuan fisiku, memang. Tentunya aku melesat dengan tetap menyebut nama Allah dalam hatiku dengan lantang.
Alih – alih menerima tantanganku, dia malah terbang dengan cepat keatas dan menghilang. Begitulah, kaum jin yang bukan khodam. Mereka suka menggangu dengan cara itu. Namun yang perlu kalian tahu, untuk menampakan diri sejelas itu. Memerlukan energy yang cukup besar, sehingga mereka tidak punya kekuatan lebih untuk beradu fisik dengan manusia. Mudahnya, sama seperti dalam film Xmen first class. Dimana mystique tidak dapat merubah dirinya menjadi sosok yang cantik, bila tiba – tiba harus menahan hal yang membahayakan dirinya saaat magneto menghempaskan barbell yang sedang dia angkat di film tersebut.
Singkat cerita, setelah itu akupun masuk kembali kedalam kamarku dan tidur. Sayangnya aku lupa untuk mengambil buah macang saat itu, dan batal merujak jadinya. Begitulah pembagian tetangga yang kuketahui. Dimana ada jin khodam, dan juga jin biasa. Biasanya khodam tidak benar – benar mengganggu seperti jin biasa tadi. Kecuali khodam dari seseorang yang menganut ilmu hitam. Namun tetap saja, ada khodam yang penuh kebencian. Atau, mungkin enaknya disebut baperan. Itulah yang akan kuceritakan.
Helenina. Itulah yang kuketahui perihal namanya. Mohon maaf bila aku salah. Namun itulah yang kutahu. Mungkin dari kalian juga banyak yang tahu. Ya, anak perempuan yang dinyanyikan lagu tidur oleh ibunya dengan lagu yang kita kenal dengan “nina bobo”.
Berkali – kali aku memperingatkan pada teman – temanku. Baik teman semasa sekolah, atau rekan kerjaku. Yang aku peringatkan adalah.
“JANGAN BERCERITA TENTANG HAL SERAM DIBALIK LAGU NINA BOBO KETIKA DIMALAM HARI DAN KALIAN SENDIRIAN SETELAHNYA !!!”
Kenapa? Karena sosok gadis kecil itu sensitive. Dia mudah baper. Dia tidak suka jadi bahan obrolan. Jadi, mudahnya bila sekali lagi kukatakan.
“JANGAN MEMBICARAKANNYA DIMALAM HARI !!”
Tapi sayangnya, bila dilarang, justru manusia akan semakin penasaran. Sungguh sifat yang buruk menurutku. Apakah benar – benar harus mencicipi sebuah resiko, baru bisa belajar dan patuh. Harusnya tidak, menurutku. Ya, ini benar terjadi. Saat aku masih bekerja dan tinggal di Bekasi.
Mereka rekan – rekan kerjaku. Bisa dibilang, mereka teman – teman baruku di Bekasi. Saat itu, mereka menginap dikontrakanku. Kami asik membicarakan hal lucu saat dipekerjaan saat malam hari sembari beranjak untuk tidur. Namun aku lupa, siapa yang memulai. Yang jelas, setelah itu kami saling bercerita horror tentang tetangga. Akupun mengikuti obrolan itu dan berbagi pengalamanku. Kami terus saling bercerita, baik itu pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain.
Namun aku menghentikan obrolan itu dan memerintahkan mereka semua untuk tidur, ketika salah satu dari kami memulai membicarakan lagu “nina bobo”. Mereka bertanya padaku, mengapa aku menghntikan obrolan itu, dan melarang untuk melanjutkan cerita lagu itu. Beberapa dari mereka belum tahu tentang cerita horror dibalik lagu itu. Sehingga mereka bersikeras untuk mendengar cerita yang akan disampaikan salah satu temanku itu tadi.
Aku membentak mereka agar tidak mengurungkan niatnya, dan agar si Pencerita juga mengurungkan niatnya untuk bercerita. Kujelaskan pada mereka, bahwa saat kalian semua membaca cerita tentang tetangga, mendengarkannya dari radio, melihatnya di film, ataupun membicarakan cerita tentang pengalaman dengan tetangga, mereka para tetangga disekitar kalian maupun yang kalian ceritakan, itu berada ditengah – tengah kalian dan ikut mendengarkan. Ya, semua tetangga baik disekitar maupun yang diceritakn teman – temankudan aku sebelumnya, sudah berada dikamar kontrakanku semenjak awal kami bercerita.
Aku merasakan dan mengetahuinya, namun masih tahap “tidak apa – apa” menurutku, selama bukan yang satu itu. Aku melarang mereka untuk yang satu itu, karena akupun pernah mengalami kejadian yang sama dulu. Karenanya aku mengetahui bahwa Helenina itu sensitive. Karenanya aku mengetahui kalau dia itu baper. Tapi itu tidak akan kuceritakan disini. Karena mengingatnyapun aku malas. Itu terjadi saat aku belum setangguh aku yang sudah mengerti dan menyadari bahwa tetangga mudah untuk dihadapi. Sungguh pengalaman yang memalukan, bila harus kuceritakan disini.
Singkat cerita, kuberitahu mereka bahwa Helenina terkadang mengganggu dengan gangguan yang merepotkan, bila dia jadi bahan obrolan. Namun, teman – temanku meremehkan dan tidak menghiraukan himbauanku. Si Penceritapun dengan berusaha menenangkanku dan berkata tidak apa – apa. Akupun mundur saat itu, dan membiarkan mereka. Namun, aku tidak mau ikut campur. Aku hanya membaringkan diriku dikasurku, dan membiarkan mereka yang melanjutkan cerita tentangnya. Tapi, tidak kupungkiri. Bahwa aku merasakan firasat buruk.
Mereka bercerita dengan ramainya, dan kurasakan Helenina sudah berada diantara kami. Aku memang tidak berusaha untuk melihatnya dengan jelas. Aku tidak memerintahkan batinku untuk melihatnya. Yah, memang secara normal. Kalian bisa melihat tetangga bila kalian ingin melihatnya seperti yang sudah kukatakan di prolog cerita ini. Kenapa? Karena saat kita masih kecil, batinlah yang melihat. Karenanya anak kecil dapat melihat tetangga, dan orang – orang yang punya maksud tidak baik, ataupun yang tidak tulus hatinya.
Namun, seiring berjalannya waktu. Dimana mata yang lebih dominan untuk melihat, batin akan menjadi tidak aktif penglihatannya. Jadi, dimana saat kalian ingin melihat tetangga. Percayakan batinmu untuk melihat. Perintahkan batinmu untuk aktif. Sama seperti kalian mencoba menduga tindakan dan perasaan seseorang. Dimana kalian memiliki feeling bahwa orang itu sepertinya begini, dia sepertinya begitu. Ya, feeling itu adalah mata batinmu yang sesungguhnya. Dan bila kalian memaksakannya untuk aktif lebih seperti saat kalian kecil, kalian bisa melihat tetangga yang kalian ingin lihat. Bukan semuanya ya. Karena, mata batin punya keterbatasan juga. Berbeda dengan yang memang bisa melihat, atau orang yang pernah dirasuki jin, atau memang ada jin menempel pada tubuhnya.
Singkat cerita, firasat burukku semakin menjadi. Tiba – tiba, saat masih ditengah obrolan tentang itu tadi, si Pencerita mendapat kabar bahwa teman sekampungnya yang akanikut mencari kerja di Bekasi, akan sampai besok sore. Karena itu, si Pencerita berniat untuk pulang dan merapikan kamar kontrakannya di Tambun.
Kemudian dia segera berpamitan kepada semuanya, termasuk padaku. aku melarangnya untuk pulang dini hari itu. Jam sudah menunjukan pukul 01.15 saat itu. Aku melarangnya dengan alasan sudah larut, dan bisa jadi ada begal dijalan. Dia hanya tertawa kecil, dan meyakinkanku bahwa jalanan masih ramai dan tidak apa – apa bila dia pulang. Memang jam segitu, jalan dari Cikarang menuju Tambun masih cukup ramai. Tapi bukan itu alasanku sebenarnya.
Akhirnya aku berkata jujur padanya bahwa aku merasakan firasat buruk. Kukatakan feelingku tidak enak padanya. Namun dia hanya tertawa dan berkata bahwa kapanfeelingku pernah enak. Diapun kemudian bergegas turun kebawah, menyalakan motornya dan pergi. Kami semua yang masih berada dikontrakanku, kemudian beranjak untuk tidur.
Namun, kira – kira satu jam sejak dia pergi, dia meneleponku dan mengatakan bahwa dia kecelakaan. Dia berkata bahwa dia tidak apa – apa dan hanya lecet – lecet ringan. Namun dia meminta kami semua datang ketambun dan menemaninya dikontrakannya. Kami berempat yang tersisapun segera berboncengan dengan dua motor dan bergegas menuju kontrakan si Pencerita tadi. Tidak butuh waktu yang lama, kami berempatpun sampai dikontrakan si Pencerita.
Kulihat memang tidak ada luka serius. Dan motornya pun tidak mengalami rusak yang berarti. Hanya kaca spion yang pecah dan bekas gesekan pada aspal dibeberapa bagian motor. Namun, yang menjadi perhatianku adalah wajahnya yang begitu pucat. Aku mengetahui, bahwa pastilah dia mengalami hal berbau – bau horror. Dan memang kurasakan Helenina berada dikamarnya.
Kuminta dia meminum segelas air dengan sebelumnya membaca surah Alfatihah. Akupun kemudian membaca Alfatihah dalam hati dan mengitari ruangan dengan berhenti pada setiap sudutnya. Ya. Aku melakukan pengusiran terhadap Helenina yang berada disitu. Helenina pun pergi setelah kubacakan surah Alfatihah di tiap sudut kamar. Teman – temanku yang lain hanya diam dan seolah mengerti apa yang kulakukan.
Tidak lama setelah itu, si Pencerita sudah tidak terlalu pucat lagi dan membuka cerita. Benar yang kufirasatkan. Dia bercerita bahwa tidak jauh dari kontrakannya dia melihat sesosok anak kecil dengan wajah pucat yang menyeramkan, muncul tiba – tiba disisi jalan. Karena terkejut, dia yang sedang dalam kecepatan tinggi, menghentikan laju kendaraanya dengan mendadak sehingga dia hilang kendali pada sepeda motornya dan jatuh terseret kejalan. Selanjutnya dengan ketakutan, dia menenteng motornya yang tidak mau dinyalakan.
Begitulah yang dialami temanku. Semoga cerita ini menjadi pelajaran agar tidak sembarangan membicarakan tetangga. Tidak hanya Helenina, tapi semuanya. Sebaiknya kita tidak sembarangan membicarakan mereka.
Dan, seperti kukatakan. Helenina itu baperan.