Cendana
By Jayadi Reiji (https://www.facebook.com/Jayadireiji)
Desa Bulu, satu dekade lalu, pembangunan sekolah akan
dibentuk sekitar 30 kilometer dari depan mesjid Darul Aqsa. Tak ada yang menduga, lahan kosong yang
ingin dijadikan lokasi pembangunan menuai perdebatan. “Tolong pertimbangkan
sekali lagi, bukankah lahan kosong di samping
pabrik beras lebih aman?” Penebang
kayu bernama Sayuddin mengajak atasannya berpikir ulang. Ia
tak mencemaskan dampak pemanasan global. Pemikiran Sayuddin
bahkan melenceng dari dugaan atasannya.
“Aman? Apa maksudmu? Tak ada
harimau yang tersesat di desa terpencil ini,” Anto
menyindir. Sebagai kepala pembangunan
sekolah, ia sudah tahu cara menyikapi lawan bicara yang hanya tamatan SMP kelas tiga. “Anda tidak
mengerti, pohon cendana di lahan
ini punya penunggu,
katanya wanita berpakaian serba hitam. Ia sudah menganggap lahan ini sebagai
rumahnya.”
Beberapa detik setelah Sayuddin
membujuk,
atasannya langsung tertawa terbahak-bahak. Sebenarnya, sepuluh rekan penebang
kayu itu menatap cemas dari belakang.
Mereka sependapat dengan Sayuddin tapi, mereka tak berani berterus terang pada
atasan.
“Lebih baik kau gunakan
gajimu untuk ikut rehabilitasi, aku lebih mementingkan masa depan anak SD
daripada rumah wanita yang tak jelas itu,”
Anto tetap pada pendiriannya. Ia
mengabaikan tatapan cemas Sayuddin. Atasan
itu menatap tegas pada sepuluh penebang pohon di belakangnya
dan berkata “Kerjakan….!” Dalam hati Sayuddin, ada dua suara yang saling beradu.
Tangannya tergenggam erat
seraya menundukkan kepala.
“Anda tidak bisa
melakukan itu…!” Setelah
melawan kata hati, Sayuddin masih ingin mencegah rencana atasannya. Anto hanya bisa tersenyum pahit. Ia
mengeluarkan dokumen penting dari sakunya. Tangan kirinya memegang lima ikat pecahan
uang seratus ribu dan berkata “Tutup mulutmu biarkan uang ini yang bicara,”
Sebagai orang dewasa, Sayuddin tentu bisa membedakan hal yang baik
dan buruk. Sifat keras kepalanya tidak akan muncul tanpa alasan. Dua hari sebelum pemilihan
lahan pembangunan, ia bermimpi bertemu wanita yang berpakaian serba hitam. Wanita itu
berpesan agar pembangunan sekolah di kawasan
itu bisa dibatalkan.
Sayuddin tahu bahwa mimpi hanya bunga tidur, tapi hati
nuraninya bisa menerjemahkan sesuatu yang tidak bisa dimengerti dengan ilmu pengetahuan.
Penebang kayu itu menggelengkan kepala seraya menahan rasa sesalnya. “Sayuddin, apa yang kamu lakukan? Cepat bantu
kami,” Satu dari
sepuluh rekan kerjanya menegur. Sayuddin
tak merespon. Ia daritadi hanya berdiri kaku. Teman-temannya saling berbisik
melihat seorang pria yang menatap kosong.
“Kenapa kamu sangat tega
melanggar janji? Sayuddin,
ingat, aku akan mengutuk setiap orang yang membangun rumah di lahan ini, itulah
resiko terbesar kalian…!” Di tengah keheningan, tiba-tiba muncul sosok wanita berpakaian
serba hitam, lebih hitam dari amarahnya. Wanita itu langsung mencekik Sayuddin dengan kedua tangannya yang pucat pasi. Matanya merah melotot mewakili
kemurkaan yang tidak bisa dipendam.
“Teman-teman lihat….!”
Seluruh penebang kayu di tempat
itu menyaksikan
kejadian yang paling membingungkan seumur hidupnya. Mereka melihat Sayuddin sedang mencekik lehernya sendiri
dengan mata terpejam. Anto
terus menekan dadanya. Ada firasat buruk yang membuat nafasnya tidak teratur. Atasan itu merasa sedang kehilangan sesuatu yang berharga
dalam dirinya.
“Mati kau….” Wanita
misterius itu terus menekan
tenggorokan pria dungu yang tak berdosa. Hanya Sayuddin yang bisa melihatnya. Jari-jarinya
mengeras hingga membuat Sayuddin
batuk-batuk “Cepat
lakukan sesuatu….!” Anto
sangat panik melihat satu bawahannya yang menderita.
Sepuluh penebang kayu itu saling menatap bingung dan tak bisa berbuat apa-apa.
Mereka masih bertanya-tanya,
kenapa Sayuddin
tega mencekik dirinya sendiri?
“Ya Allah maha pengasih,
jika memang aku ditakdirkan mati di tangan setan karena kehendakMu, maka aku ikhlas.” Air
mata Sayuddin
berlinang di pipi dan menetes ke dagunya. Jauh dari dalam hati, ia berharap masih bisa hidup normal,
menjalani hari-hari bahagia bersama
istri dan melihat dua anaknya tumbuh mandiri. Penebang kayu itu tak tahu pada
siapa kesalahannya mesti dilimpahkan.
Kedatangan wanita misterius itu merupakan musibah besar. Bahkan bagi orang yang
tak percaya pada kekuatan sang
pencipta.
“Sayu?” Anto bertanya ragu. Itu karena bawahannya sudah
melakukan reaksi lain.
kedua tangannya sudah bisa bergerak
normal. Ia tidak menyentuh lehernya lagi. Sosok misterius itu sudah hilang tapi, kesakitan yang ia tinggalkan masih
membekas.
Sepuluh penebang kayu di tempat
itu belum bisa bernafas
lega. Seluruh tubuh Sayuddin
lemas dan kakinya mati rasa.
Di atas tanah yang
kering, Sayuddin
merangkak dan tak
kuat menahan berat badannya. Wajahnya pucat dan penuh keringat.“Sepertinya dia akan muntah,” Mata Anto mulai memicing. Tebakannya
sudah tepat. Sayuddin menekan perutnya sambil memuntahkan gumpalan daun cendana
yang bewarna hitam. Daun yang terlihat hangus dan pahit. Gumpalan yang Sayu
muntahkan bercampur lendir
bening yang berbau
busuk. Bahkan seekor anjing pun tak mau menciumnya. Orang-orang di dekat Sayu hanya menutup mulut dan hidung. Dari semua
gejala aneh, memang ada
sesuatu yang ganjal. Jelas sekali ada hal yang perlu dibenahi di tempat itu.
Perasaan sesal muncul
setelah salah satu panca indra bisa merasakan tekanan yang teramat sangat. Hal
itulah yang Anto
rasakan saat ini.
“Pohon cendana di tempat ini punya
penunggu. Ia akan kehilangan rumah,”
Nasehat Sayuddin kembali berdengung di telinga seorang
atasan yang berhati tebal. Anto
sepenuh hati ingin membatalkan rencananya, tapi semua pohon cendana ditempat
itu sudah tertebang. Hal yang tersisa hanya akar, potongan batang kayu, dan daun-daun
hijau yang termakan
cahaya matahari.
Kejadian di luar logika
akan mengeraskan urat syaraf manusia yang terus berpedoman pada ilmu
pengetahuan. Sepuluh rekan Sayuddin mengusap-usap matanya karena melihat
keganjilan yang sangat dekat dari diri mereka. “Bagaimana bisa? Ini sangat
aneh.” Anto berseru heran. Sepuluh bawahannya tiba-tiba saja mengenakan pakaian
serba hitam. Dalam sekejab, warna baju mereka berubah. Teman-teman Sayuddin
juga melihat atasannya memakai pakaian dengan warna yang sama. Hitam pekat,
seperti awan mendung.
Kedipan mata tak
terhitung di tempat itu. Penampilan mereka seperti saat berduka di depan orang
meninggal. Mereka sulit memikirkan jawaban, mengapa baju yang dikenakan bisa berubah
menjadi warna hitam. Orang-orang berhati polos di tempat itu saling menunjuk
dan meremas-remas bajunya. Tak ada yang berubah sampai mereka lari terpontang
panting meninggalkan lokasi.
Desa Bulu, 3 Januari tahun 2000. Lahan kosong yang
menuai perdebatan akhirnya menampakkan hasil. Larangan mengenai kutukan di
tempat itu sengaja dirahasiakan pada masyarakat. Bagunan sekolah dasar 237
berdiri kokoh menutupi akar-akar cendana di atas tanah. Banyak anak yang kecil
tertawa riang, berseragam rapi, dan siap menyambut dunia barunya. Jika
mendengar suara tawa anak-anak, hati yang gelisah akan terasa damai. Tapi,
faktanya, anak-anak itu bisa tertawa karena belum bisa melihat pengorbanan besar
dibalik sebuah lahan yang menjadi tempat belajarnya.
Pada saat itu, ada anak
laki-laki yang akan menyaksikan kemarahan penunggu lahan kosong. Adi, merupakan
siswa SMP kelas satu yang baru pindah ke desa Bulu. Orangtuanya belum bisa
merasakan hawa panas yang menjadi perbincangan masyarakat. Mereka membangun
rumah hanya berjarak sepuluh meter dari SD 237. Di pedesaan, pekerjaan sekecil
apa pun akan dihargai. Satria ibu dari Adi sedang mengupas mangga untuk bahan ‘cuka’.
Pisau terus bergerak pelan, menekan
kulit mangga sampai kulitnya mamanjang dan berbentuk spiral.
“Tolong buang kulit
mangganya,” Satria mulai kelelahan karena sudah delapan jam bekerja tanpa jeda.
Terkadang, orang lain menilai pekerjaan ibu rumah tangga adalah sebuah
pekerjaan santai. Tapi, hal itu tak berlaku untuk keluarga yang hidup sederhana,
begitu pun penghasilannya. “Aku ingin pergi main game, aku rasa ibu tak butuh
peta jika hanya ingin membuang kulit mangga,” Adi menolak kewajibannya sebagai
anak. Ibunya berusaha meredam emosi dan kembali menyentuh satu mangga jenis
(harum manis). Ibu Adi yang mengalami penyakit darah tinggi harus melatih
dirinya bersabar. Anak SMP lebih sulit dihadapi dari pada anak gelandangan.
Pintu yang terbuat dari
kayu mahoni sudah terbanting tertutup. Adi sudah keluar menyusuri pinggir
sekolah. Video game merupakan hiburan yang cukup mewah bagi anak pedesaan. Jika
sudah larut dalam dunia game, pemainnya akan sulit membedakan antara waktu
istirahat dan waktu bermain. Hal itulah yang Adi rasakan sekarang. Anak itu
mengikuti naluri tanpa menyadari sinar bulan dan suara jangkrik di sekitarnya.
Di lain pihak, wanita
berumur empat puluh tahun mulai memasukkan tumpukan kulit mangga ke dalam
karung. Satria beranjak keluar dari teras, menuruni tangga sampai sandalnya
menyentuh tanah. Lampu teras yang berkilau kuning bisa menghilangkan rasa
tegang meski bulan tertutupi awan tebal. “Mana rumahku? Semuanya ditebang….! Aku
kedinginan, mereka tak punya rasa kasihan, rumahku….! Aku tak bisa berteduh.
Mana rumahku?”
Di balik bangunan
perpustakan yang roboh, terdengar suara serak yang sedang berkukuh. Satria
meletakkan karung sampah di samping pot seraya mengikuti suara hatinya. Ia
adalah tipikal wanita yang pekerja keras dan tidak suka jika rasa penasaran
menyiksa hatinya. “Kembalikan rumahku…..!” Semakin Satria melangkah, suara
misterius itu semakin terdengar pelan.
Sebenarnya Satria tak
suka mencampuri urusan orang lain tanpa sebab yang logis. Tapi, hatinya terus
mendesah mendengar suara keluhan yang sangat menderita. Seperti penderita virus
Ebola yang sudah bosan meminum obat. Sekarang, Satria berdiri di depan bangunan
roboh. Ia tak sadar bahwa tubuhnya sudah termakan kegelapan. “Suara tadi, aku
yakin itu bukan ilusi,” Ibu Adi berguman dalam hati. Ia berharap suara misterius
tadi kembali terdengar.
Dalam keheningan malam,
Satria berusaha mengoreksi dirinya. “Apa mungkin suara itu hadir karena
kesalahan yang belum kusadari di masa lalu? Apa aku pernah menyakiti seseorang
dan lupa meminta maaf?” Sebenarnya Satria masih ingin mencari jawaban, tapi
ketakutan telah membatasinya. Tepat lima meter dari depan, terlihat wanita tua
berpakaian serba hitam. Darah di wajahnya seperti tak mengalir, bibirnya kering
dan pupil matanya menyusut. “Apa salahku?” Mata Satria membelalak mendengar
pertanyaan yang sulit dimengerti. Tak lama kemudian, wanita berpakaian serba
hitam di depannya semakin bertingkah. Ia menutup wajahnya seraya berlutut di
tanah.
“Rumahku hilang, izinkan
aku menumpang, satu malam saja.” Sosok misterius itu terus menekan Satria.
Rambutnya terlihat basah dan kusam. Tak ada es balok ditempat itu, tapi tubuh
Satria mengigil bahkam kukunya bewarna ungu. Ibu Adi sangat kedinginan.
Tubuhnya terus gemetar. Tanpa merespon, Ibu Adi langusng lari menuju rumahnya.
Angin kencang yang menerpa tubuhnya tak terasa, tapi danyut jantung dari urat
nadinya bisa terdengar. Satria yakin itu bukan ilusi. Ia keluar dari rumah enam
menit yang lalu tanpa meminum alkohol maupun obat kimia.
Pagi hari, pukul 07:02 AM. Suara anak sekolah dasar
bersorak dan itu bisa menggantikan alarm. Adi tak pernah telat bangun karena
suara mereka bisa terdengar jelas dari jarak dekat. Tanpa sarapan pagi, Anak
itu berjalan menyusuri bangunan yang telah menjadi penyambung harapan para pelajar
muda. Raut wajah Satria dan anaknya tak begitu berbeda. Kantong matanya mulai
terbentuk, lehernya menegang, dan terlihat mengering. Itulah sebabnya Satria
tak berkomentar saat melihat anaknya keluar dari rumah tanpa senyum.
“Kata ibuku, kita tak boleh
menebang pohon sembarangan,” Di belakang kelas, ada dua anak SD yang sedang
mengembangkan pikirannya. Satu memengang lollipop dan satunya lagi memegang
balon yang terhubung dengan tali. “Kenapa kita tak boleh menebang pohon?” Si
penggemar lollipop bertanya. “Tidak boleh, nanti pohonnya menangis,” Kata anak
yang memegang Balon.
“Tidak mungkin, pohon
hanya benda mati yang tak punya pemilik,” Ujaran anak yang memegang lollipop
itu memaksa Adi berhenti melangkah. “Setiap pohon punya pemilik, jika ditebang,
burung pelatuk akan kehilangan sarang dan ulat daun akan mati kelaparan.” Adi
kembali berjalan setelah menyimpulkan makna percakapan dua bocah itu. Makna
yang dalam, padahal mereka hanya bocah. Tapi, kata-kata yang mereka ucapkan
mampu membawa perubahan besar bagi banyak orang. Jauh di belahan bumi ini,
banyak orang menderita akibat menebang pohon. Lonsor, banjir dan pemanasan
global. Setiap tahunnya jutaan orang menangis akibat bencana alam. Namun hanya
ratusan dari mereka yang bisa belajar dari pengalaman.
“Siapa sebenarnya yang berdosa?
Kenapa aku harus merasakan teror ini?” Adi terus membuat pertanyaan yang tak
bisa ia jawab. Di depan halaman sekolah, anak-anak tetap bermain ceriah. Tak
ada yang keluar dari dunianya. Mereka selalu tertawa ceriah, hanya Adi yang
terus berdiri dengan wajah yang murung, tak lupa pula tatapan kosong dan
ketakutan terbesarnya. Anak itu bahkan tak berkedip merasakan angin kencang
yang berhembus. Rambutnya tersapu ke belakang. Angin menerbangkan ratusan daun yang berwarna hitam.
Terus menatap kosong dan larut dalam perasaan hampa. Datangnya kabut dan
gugurnya daun-daun hitam mewakili sebagian kecil misteri alam yang tak
terbatas. Sekaligus mewakili tanda kehadiran Sang Pencipta.
Penulis by Jayadi Reiji
Ide cerita by Jayadi
Reiji berdasarkan pengalaman nyata di masa SMP
Sampul by treewallpaper