Cendana

At 7:56 AM





Cendana
By Jayadi Reiji (https://www.facebook.com/Jayadireiji)

Desa Bulu, satu dekade lalu, pembangunan sekolah akan dibentuk sekitar 30 kilometer dari depan mesjid Darul Aqsa. Tak ada yang menduga, lahan kosong yang ingin dijadikan lokasi pembangunan menuai perdebatan. “Tolong pertimbangkan sekali lagi, bukankah lahan kosong di samping pabrik beras lebih aman?” Penebang kayu bernama Sayuddin mengajak atasannya berpikir ulang. Ia tak mencemaskan dampak pemanasan global. Pemikiran Sayuddin bahkan melenceng dari dugaan atasannya.
“Aman? Apa maksudmu? Tak ada harimau yang tersesat di desa terpencil ini,Anto menyindir. Sebagai kepala pembangunan sekolah, ia sudah tahu cara menyikapi lawan bicara yang hanya tamatan SMP kelas tiga. “Anda tidak mengerti, pohon cendana di lahan ini punya penunggu, katanya wanita berpakaian serba hitam. Ia sudah menganggap lahan ini sebagai rumahnya.Beberapa detik setelah Sayuddin membujuk, atasannya langsung tertawa terbahak-bahak. Sebenarnya, sepuluh rekan penebang kayu itu menatap cemas dari belakang. Mereka sependapat dengan Sayuddin tapi, mereka tak berani berterus terang pada atasan.
“Lebih baik kau gunakan gajimu untuk ikut rehabilitasi, aku lebih mementingkan masa depan anak SD daripada rumah wanita yang tak jelas itu,Anto tetap pada pendiriannya. Ia mengabaikan tatapan cemas Sayuddin. Atasan itu menatap tegas pada sepuluh penebang pohon di belakangnya dan berkata “Kerjakan….!” Dalam hati Sayuddin, ada dua suara yang saling beradu. Tangannya tergenggam erat seraya menundukkan kepala.
“Anda tidak bisa melakukan itu…!” Setelah melawan kata hati, Sayuddin masih ingin mencegah rencana atasannya. Anto hanya bisa tersenyum pahit. Ia mengeluarkan dokumen penting dari sakunya. Tangan kirinya memegang lima ikat pecahan uang seratus ribu dan berkata “Tutup mulutmu biarkan uang ini yang bicara,
Sebagai orang dewasa, Sayuddin tentu bisa membedakan hal yang baik dan buruk. Sifat keras kepalanya tidak akan muncul tanpa alasan. Dua hari sebelum pemilihan lahan pembangunan, ia bermimpi bertemu wanita yang berpakaian serba hitam. Wanita itu berpesan agar pembangunan sekolah di kawasan itu bisa dibatalkan.
Sayuddin tahu bahwa mimpi hanya bunga tidur, tapi hati nuraninya bisa menerjemahkan sesuatu yang tidak bisa dimengerti dengan ilmu pengetahuan. Penebang kayu itu menggelengkan kepala seraya menahan rasa sesalnya. “Sayuddin, apa yang kamu lakukan? Cepat bantu kami,” Satu dari sepuluh rekan kerjanya menegur. Sayuddin tak merespon. Ia daritadi hanya berdiri kaku. Teman-temannya saling berbisik melihat seorang pria yang menatap kosong.


“Kenapa kamu sangat tega melanggar janji? Sayuddin, ingat, aku akan mengutuk setiap orang yang membangun rumah di lahan ini, itulah resiko terbesar kalian…!” Di tengah keheningan, tiba-tiba muncul sosok wanita berpakaian serba hitam, lebih hitam dari amarahnya. Wanita itu langsung mencekik Sayuddin dengan kedua tangannya yang pucat pasi. Matanya merah melotot mewakili kemurkaan yang tidak bisa dipendam.
“Teman-teman lihat….!” Seluruh penebang kayu di tempat itu menyaksikan kejadian yang paling membingungkan seumur hidupnya. Mereka melihat Sayuddin sedang mencekik lehernya sendiri dengan mata terpejam. Anto terus menekan dadanya. Ada firasat buruk yang membuat nafasnya tidak teratur. Atasan itu merasa sedang kehilangan sesuatu yang berharga dalam dirinya.
“Mati kau….” Wanita misterius itu terus menekan tenggorokan pria dungu yang tak berdosa. Hanya Sayuddin yang bisa melihatnya. Jari-jarinya mengeras hingga membuat Sayuddin batuk-batuk “Cepat lakukan sesuatu….!” Anto sangat panik melihat satu bawahannya yang menderita. Sepuluh penebang kayu itu saling menatap bingung dan tak bisa berbuat apa-apa. Mereka masih bertanya-tanya, kenapa Sayuddin tega mencekik dirinya sendiri?
“Ya Allah maha pengasih, jika memang aku ditakdirkan mati di tangan setan karena kehendakMu, maka aku ikhlas.” Air mata Sayuddin berlinang di pipi dan menetes ke dagunya. Jauh dari dalam hati, ia berharap masih bisa hidup normal, menjalani hari-hari bahagia bersama istri dan melihat dua anaknya tumbuh mandiri. Penebang kayu itu tak tahu pada siapa kesalahannya mesti dilimpahkan. Kedatangan wanita misterius itu merupakan musibah besar. Bahkan bagi orang yang tak percaya pada kekuatan sang pencipta.
Sayu?” Anto bertanya ragu. Itu karena bawahannya sudah melakukan reaksi lain. kedua tangannya sudah bisa bergerak normal. Ia tidak menyentuh lehernya lagi. Sosok misterius itu sudah hilang tapi, kesakitan yang ia tinggalkan masih membekas. Sepuluh penebang kayu di tempat itu belum bisa bernafas lega. Seluruh tubuh Sayuddin lemas dan kakinya mati rasa.
Di atas tanah yang kering, Sayuddin merangkak dan tak kuat menahan berat badannya. Wajahnya pucat dan penuh keringat.“Sepertinya dia akan muntah,” Mata Anto mulai memicing. Tebakannya sudah tepat. Sayuddin menekan perutnya sambil memuntahkan gumpalan daun cendana yang bewarna hitam. Daun yang terlihat hangus dan pahit. Gumpalan yang Sayu muntahkan bercampur lendir bening yang berbau busuk. Bahkan seekor anjing pun tak mau menciumnya. Orang-orang di dekat Sayu hanya menutup mulut dan hidung. Dari semua gejala aneh, memang ada sesuatu yang ganjal. Jelas sekali ada hal yang perlu dibenahi di tempat itu.


Perasaan sesal muncul setelah salah satu panca indra bisa merasakan tekanan yang teramat sangat. Hal itulah yang Anto rasakan saat ini. “Pohon cendana di tempat ini punya penunggu. Ia akan kehilangan rumah,Nasehat Sayuddin kembali berdengung di telinga seorang atasan yang berhati tebal. Anto sepenuh hati ingin membatalkan rencananya, tapi semua pohon cendana ditempat itu sudah tertebang. Hal yang tersisa hanya akar, potongan batang kayu, dan daun-daun hijau yang termakan cahaya matahari.
Kejadian di luar logika akan mengeraskan urat syaraf manusia yang terus berpedoman pada ilmu pengetahuan. Sepuluh rekan Sayuddin mengusap-usap matanya karena melihat keganjilan yang sangat dekat dari diri mereka. “Bagaimana bisa? Ini sangat aneh.” Anto berseru heran. Sepuluh bawahannya tiba-tiba saja mengenakan pakaian serba hitam. Dalam sekejab, warna baju mereka berubah. Teman-teman Sayuddin juga melihat atasannya memakai pakaian dengan warna yang sama. Hitam pekat, seperti awan mendung.
Kedipan mata tak terhitung di tempat itu. Penampilan mereka seperti saat berduka di depan orang meninggal. Mereka sulit memikirkan jawaban, mengapa baju yang dikenakan bisa berubah menjadi warna hitam. Orang-orang berhati polos di tempat itu saling menunjuk dan meremas-remas bajunya. Tak ada yang berubah sampai mereka lari terpontang panting meninggalkan lokasi.
Desa Bulu, 3 Januari tahun 2000. Lahan kosong yang menuai perdebatan akhirnya menampakkan hasil. Larangan mengenai kutukan di tempat itu sengaja dirahasiakan pada masyarakat. Bagunan sekolah dasar 237 berdiri kokoh menutupi akar-akar cendana di atas tanah. Banyak anak yang kecil tertawa riang, berseragam rapi, dan siap menyambut dunia barunya. Jika mendengar suara tawa anak-anak, hati yang gelisah akan terasa damai. Tapi, faktanya, anak-anak itu bisa tertawa karena belum bisa melihat pengorbanan besar dibalik sebuah lahan yang menjadi tempat belajarnya.
Pada saat itu, ada anak laki-laki yang akan menyaksikan kemarahan penunggu lahan kosong. Adi, merupakan siswa SMP kelas satu yang baru pindah ke desa Bulu. Orangtuanya belum bisa merasakan hawa panas yang menjadi perbincangan masyarakat. Mereka membangun rumah hanya berjarak sepuluh meter dari SD 237. Di pedesaan, pekerjaan sekecil apa pun akan dihargai. Satria ibu dari Adi sedang mengupas mangga untuk bahan ‘cuka’. Pisau terus bergerak  pelan, menekan kulit mangga sampai kulitnya mamanjang dan berbentuk spiral.
“Tolong buang kulit mangganya,” Satria mulai kelelahan karena sudah delapan jam bekerja tanpa jeda. Terkadang, orang lain menilai pekerjaan ibu rumah tangga adalah sebuah pekerjaan santai. Tapi, hal itu tak berlaku untuk keluarga yang hidup sederhana, begitu pun penghasilannya. “Aku ingin pergi main game, aku rasa ibu tak butuh peta jika hanya ingin membuang kulit mangga,” Adi menolak kewajibannya sebagai anak. Ibunya berusaha meredam emosi dan kembali menyentuh satu mangga jenis (harum manis). Ibu Adi yang mengalami penyakit darah tinggi harus melatih dirinya bersabar. Anak SMP lebih sulit dihadapi dari pada anak gelandangan.
Pintu yang terbuat dari kayu mahoni sudah terbanting tertutup. Adi sudah keluar menyusuri pinggir sekolah. Video game merupakan hiburan yang cukup mewah bagi anak pedesaan. Jika sudah larut dalam dunia game, pemainnya akan sulit membedakan antara waktu istirahat dan waktu bermain. Hal itulah yang Adi rasakan sekarang. Anak itu mengikuti naluri tanpa menyadari sinar bulan dan suara jangkrik di sekitarnya.
Di lain pihak, wanita berumur empat puluh tahun mulai memasukkan tumpukan kulit mangga ke dalam karung. Satria beranjak keluar dari teras, menuruni tangga sampai sandalnya menyentuh tanah. Lampu teras yang berkilau kuning bisa menghilangkan rasa tegang meski bulan tertutupi awan tebal. “Mana rumahku? Semuanya ditebang….! Aku kedinginan, mereka tak punya rasa kasihan, rumahku….! Aku tak bisa berteduh. Mana rumahku?”
Di balik bangunan perpustakan yang roboh, terdengar suara serak yang sedang berkukuh. Satria meletakkan karung sampah di samping pot seraya mengikuti suara hatinya. Ia adalah tipikal wanita yang pekerja keras dan tidak suka jika rasa penasaran menyiksa hatinya. “Kembalikan rumahku…..!” Semakin Satria melangkah, suara misterius itu semakin terdengar pelan.
Sebenarnya Satria tak suka mencampuri urusan orang lain tanpa sebab yang logis. Tapi, hatinya terus mendesah mendengar suara keluhan yang sangat menderita. Seperti penderita virus Ebola yang sudah bosan meminum obat. Sekarang, Satria berdiri di depan bangunan roboh. Ia tak sadar bahwa tubuhnya sudah termakan kegelapan. “Suara tadi, aku yakin itu bukan ilusi,” Ibu Adi berguman dalam hati. Ia berharap suara misterius tadi kembali terdengar.
Dalam keheningan malam, Satria berusaha mengoreksi dirinya. “Apa mungkin suara itu hadir karena kesalahan yang belum kusadari di masa lalu? Apa aku pernah menyakiti seseorang dan lupa meminta maaf?” Sebenarnya Satria masih ingin mencari jawaban, tapi ketakutan telah membatasinya. Tepat lima meter dari depan, terlihat wanita tua berpakaian serba hitam. Darah di wajahnya seperti tak mengalir, bibirnya kering dan pupil matanya menyusut. “Apa salahku?” Mata Satria membelalak mendengar pertanyaan yang sulit dimengerti. Tak lama kemudian, wanita berpakaian serba hitam di depannya semakin bertingkah. Ia menutup wajahnya seraya berlutut di tanah.
“Rumahku hilang, izinkan aku menumpang, satu malam saja.” Sosok misterius itu terus menekan Satria. Rambutnya terlihat basah dan kusam. Tak ada es balok ditempat itu, tapi tubuh Satria mengigil bahkam kukunya bewarna ungu. Ibu Adi sangat kedinginan. Tubuhnya terus gemetar. Tanpa merespon, Ibu Adi langusng lari menuju rumahnya. Angin kencang yang menerpa tubuhnya tak terasa, tapi danyut jantung dari urat nadinya bisa terdengar. Satria yakin itu bukan ilusi. Ia keluar dari rumah enam menit yang lalu tanpa meminum alkohol maupun obat kimia.


Pagi hari, pukul 07:02 AM. Suara anak sekolah dasar bersorak dan itu bisa menggantikan alarm. Adi tak pernah telat bangun karena suara mereka bisa terdengar jelas dari jarak dekat. Tanpa sarapan pagi, Anak itu berjalan menyusuri bangunan yang telah menjadi penyambung harapan para pelajar muda. Raut wajah Satria dan anaknya tak begitu berbeda. Kantong matanya mulai terbentuk, lehernya menegang, dan terlihat mengering. Itulah sebabnya Satria tak berkomentar saat melihat anaknya keluar dari rumah tanpa senyum.
“Kata ibuku, kita tak boleh menebang pohon sembarangan,” Di belakang kelas, ada dua anak SD yang sedang mengembangkan pikirannya. Satu memengang lollipop dan satunya lagi memegang balon yang terhubung dengan tali. “Kenapa kita tak boleh menebang pohon?” Si penggemar lollipop bertanya. “Tidak boleh, nanti pohonnya menangis,” Kata anak yang memegang Balon.
“Tidak mungkin, pohon hanya benda mati yang tak punya pemilik,” Ujaran anak yang memegang lollipop itu memaksa Adi berhenti melangkah. “Setiap pohon punya pemilik, jika ditebang, burung pelatuk akan kehilangan sarang dan ulat daun akan mati kelaparan.” Adi kembali berjalan setelah menyimpulkan makna percakapan dua bocah itu. Makna yang dalam, padahal mereka hanya bocah. Tapi, kata-kata yang mereka ucapkan mampu membawa perubahan besar bagi banyak orang. Jauh di belahan bumi ini, banyak orang menderita akibat menebang pohon. Lonsor, banjir dan pemanasan global. Setiap tahunnya jutaan orang menangis akibat bencana alam. Namun hanya ratusan dari mereka yang bisa belajar dari pengalaman.
“Siapa sebenarnya yang berdosa? Kenapa aku harus merasakan teror ini?” Adi terus membuat pertanyaan yang tak bisa ia jawab. Di depan halaman sekolah, anak-anak tetap bermain ceriah. Tak ada yang keluar dari dunianya. Mereka selalu tertawa ceriah, hanya Adi yang terus berdiri dengan wajah yang murung, tak lupa pula tatapan kosong dan ketakutan terbesarnya. Anak itu bahkan tak berkedip merasakan angin kencang yang berhembus. Rambutnya tersapu ke belakang. Angin  menerbangkan ratusan daun yang berwarna hitam. Terus menatap kosong dan larut dalam perasaan hampa. Datangnya kabut dan gugurnya daun-daun hitam mewakili sebagian kecil misteri alam yang tak terbatas. Sekaligus mewakili tanda kehadiran Sang Pencipta.

Penulis by  Jayadi Reiji
Ide cerita by Jayadi Reiji berdasarkan pengalaman nyata di masa SMP
Sampul by treewallpaper

CERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
CERITA SELANJUTNYA
Next Post »
Komentar Menggunakan Akun Facebook
0 Komentar Menggunakan Akun Blogger

Berkomentarlah Yang Baik dan Sesuai Dengan Artikel :) dan Jika Ingin Menyisipkan Emotikon Pada Komentar, silahkan Klik Tombol EmoticonEmoticon