The Sinners : Chapter VIII - Its Not A Terror

At 6:05 PM

Credit To : Mina Cheyo



Luxuria kembali membawa Lunia menuju Pintu besar hitam yang terlihat sama seperti sebelumnya. Perasaan trauma menggetarkan setiap inci tubuh Lunia saat kedua daun pintu itu mengayun membuka. Cahaya remang memancar dari ruangan itu. Tak ada kegelapan, atau darah, atau ibunya lagi. Sebuah meja besar yang panjang berdiri kokoh di tengah ruangan dengan keenam kursi berwarna merah hitam senada mengitari kedua sisi panjangnya. Meninggalkan kedua ujung meja yang membundar dalam kehampaan. Enam buah lilin yang berdiri diatas meja pada penyangganya masing-masing ternyata menjadi sumber dari cahaya remang yang menerangi ruangan itu. Lunia menyadari kehadiran empat orang lainnya saat Luxuria kembali menyeretnya untuk ikut memasuki ruangan itu.

“Apakah Ira belum kembali?” Suara lembut Luxuria memecah keheningan dalam ruangan itu. Ia lalu mengambil tempat di sisi kiri dari meja itu berseberangan dengan seorang wanita yang terlihat anggun dalam balutan jubbah hitam yang serupa.

Seorang pria kurus berjubah serupa yang juga berada di sisi yang berseberangan tepat di sebelah Superbia memainkan jari-jarinya yang dipenuhi cincin berkilauan dengan gelisah “Ya, sepertinya…” Gigi emasnya sesekali terlihat memantulkan cahaya lilin yang remang.

Wanita anggun yang berada di sebelahnya kemudian mengalihkan perhatiannya pada gadis yang berdiri di sisi Luxuria “Luxuria, siapa dia?”

“Dia tamunya…” Jawab Gula yang duduk di sisi Luxuria. Tubuh gemuknya juga tampak gelisah di balik jubahnya.

“Ya, itu benar…” Luxuria menarik tubuh Lunia ke pangkuannya dan membelai rambut panjangnya “Dia adalah tamuku, apa kau keberatan, Invidia?”

“Tidak sama sekali.” Ujar wanita itu sembari memalingkan wajah kecutnya.

Pintu besar itu kembali terbuka, merefleksikan seorang wanita muda yang tampak kekar dengan tombak di tangannya. Disisinya tampak seorang pria kurus yang gemetar.

“maaf aku terlambat”

Gula dan Avartia tampak lega melihat kedatangan Ira.

“Jadi, siapa kali ini?” Ujar Luxuria tanpa sekalipun mengalihkan perhatiannya dari helaian rambut Lunia yang dimainkannya diantara jemarinya. Perhatian Lunia sedikit terusik saat kedua bola matanya membulat menyadari pria yang datang bersama Ira.

“A…yah…”

Semua orang di ruangan itu tampak terkejut. Tak terkecuali pria yang datang bersama Ira “Lunia? Lunia? Itu Kau nak? Lunia…”

“Ayah… AYAH!!!” Tanpa sadar kedua kaki Lunia segera beranjak membawa tubuh ringkihnya menghampiri dan memeluk pria itu. Airmatanya kembali mengalir seperti sungai.

“Lunia…Lunia.. Terimakasih, kau masih hidup… maafkan ayah nak… maafkan ayah sudah meninggalkanmu… sekarang kau tak perlu takut, ayah akan mengeluarkanmu dari sini…”

PLAK!

Invidia menghantam meja di hadapannya, kembali mengejutkan semua orang. Matamya mengilat dalam kebencian “Tolong jelaskan apa yang sebenarnya terjadi disini?”

Luxuria menyeringai licik “Itu benar, Ira, apa yang sebenarnya sedang terjadi?” . Ia menatap Lunia dan ayahnya dalam seringai kepuasan.

“Jangan berpura-pura bodoh. Aku tahu apa yang sudah kau lakukan! Aku mengendus jejak salah satu dari kita sebelum aku tiba disana.” Ira menggenggam erat tombak ditangannya yang mulai terbakar dalam api kemurkaannya “Ada yang sudah menghasut para manusia rendah itu hingga mereka berani mengurbankan seseorang yang sudah sekarat kepada kita. Apa mereka pikir kita adalah gelandangan yang mau menyantap sesuatu yang sudah membusuk? Mereka saja tak mau menyentuh ternak yang sakit untuk mereka makan, tapi mereka malah menyajikannya kepada kita? Sekarang manusia biadab ini memohon untuk menggantikan putrinya sebagai kurban, sungguh suatu drama!”

Lunia menatap ayahnya tak percaya “Ayah, apa…?”

“Maafkan ayah nak, hanya ini yang bisa ayah lakukan untukmu…” Sang mayor mendekap putri tunggalnya erat.

“Ah, aku mengira, siapa yang berani melakukannya?” Luxuria kembali tersenyum seolah tanpa dosa. Ia bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Lunia yang berada dalam dekapan ayah tersayangnya “Tapi, Ira, aku setuju denganmu”

Lunia yang terkejut semakin tercekat ketika melihat Luxuria berdiri dihadapannya dan menancapkan sebuah pisau tepat ke jantung ayahnya. Pupil matanya yang biru semakin membulat dalam keterkejutan.

“a..pa..?”

Luxuria tersenyum

“Sungguh suatu drama”





NEXT ON THE SINNERS : IT’S JUST LOVE

CERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
CERITA SELANJUTNYA
Next Post »
Komentar Menggunakan Akun Facebook
0 Komentar Menggunakan Akun Blogger

Berkomentarlah Yang Baik dan Sesuai Dengan Artikel :) dan Jika Ingin Menyisipkan Emotikon Pada Komentar, silahkan Klik Tombol EmoticonEmoticon